Adab dan Tatacara Saat Sakit Menjelang
Ajal
Makalah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Social Religius
Skill
DosenPembimbing
:
Dr.H .
Achmad Zuhdi DH,,M.Fill. I
Oleh :
Mohammad
Nadlif (A02213060)
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2016
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam setiap perjalanan
hidup manusia, senantiasa dipertemukan pada tiga kondisi dan situasi yakni
sehat, sakit atau mati. Pada kondisi sehat, terkadang melupakan cara hidup
sehat dan mengabaikan perintah Allah SWT, sebaliknya pada kondisi sakit
dianggap sebuah beban penderitaan, malapetaka dan wujud kemurkaan Allah SWT. Dalam Q.S. Saad: 27 Allah SWT selalu
menciptakan sesuatu atau memberikan suatu ujian kepada hambanya pasti ada
hikmah atau pelajaran dibalik itu
semua.
“dan Kami tidak menciptakan
langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian
itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu
karena mereka akan masuk neraka.” (QS. As-Shaad: 27).
Kenyataan inilah yang kemudian menggerakkan penulis
untuk membahas permasalahan tersebut dalam makalah ini. Khususnya adalah
mengenai amalan pada saat sakit menjelang ajal dan hal-hal yang terkait
persoalan tersebut.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaiman sakit dalam pandangan Islam?
2.
Bagaimana amalan pada
saat sakit menjelang ajal?
C.
Tujuan
1. Untuk memahami bagaimana sakit dalam pandangan Islam
2.
Untuk
mengetahui amalan pada saat sakit menjelang ajal.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Sakit
dalam Pandangan Islam
Dalam perspektif
Islam, setiap penyakit merupakan cobaan yang diberikan oleh Allah SWT kepada
hamba-Nya untuk menguji keimanannya. Rasulullah SAW Bersabda:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ عِظَمُ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا
أَحَبَّ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ فَمَنْ رَضِيَ فَلَهُ الرِّضَا وَمَنْ سَخِطَ فَلَهُ
السُّخْطُ
Dari
Anas bin Malik RA dari Rasulullah SAW, bahwa beliau bersabda,
"Besarnya ganjaran pahala sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya
jika Allah mencintai suatu kaum, maka Dia akan mengujinya. Oleh karena itu,
barangsiapa ridha (menerima ujian tersebut, maka baginya ridha Allah. Dan
barangsiapa murka (tidak menerima ujian tersebut), maka baginya murka
Allah." [1] (H.R. Ibnu Majah dan At Turmudzi)
Kondisi sehat dan kondisi sakit adalah
dua kondisi yang senantiasa dialami oleh setiap manusia. Allah SWT tidak
akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga obatnya,
sebagaimana hadits Nabi saw:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ
الْمُثَنَّى حَدَّثَنَا أَبُو أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ
سَعِيدِ بْنِ أَبِي حُسَيْنٍ قَالَ حَدَّثَنِي عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ دَاءً إِلَّا أَنْزَلَ لَهُ شِفَاءً
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad
bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az Zubairi telah
menceritakan kepada kami 'Umar bin Sa'id bin Abu Husain dia berkata; telah
menceritakan kepadaku 'Atha` bin Abu Rabah dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu
dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Allah
tidak akan menurunkan penyakit melainkan menurunkan obatnya juga." [2](HR
Bukhari)
Bila dalam kondisi sakit, umat Islam
dijanjikan oleh Allah SWT berupa penghapusan dosa apabila ia bersabar dan
berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya. Sebagaimana sebuah hadits yang diriwayatkan Imam
Muslim:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ يُوعَكُ فَمَسِسْتُهُ
بِيَدِي فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ إِنِّي أُوعَكُ كَمَا
يُوعَكُ رَجُلَانِ مِنْكُمْ قَالَ فَقُلْتُ ذَلِكَ أَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجَلْ ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى
مِنْ مَرَضٍ فَمَا سِوَاهُ إِلَّا حَطَّ اللَّهُ بِهِ سَيِّئَاتِهِ كَمَا تَحُطُّ
الشَّجَرَةُ وَرَقَهَا
Dari Abdullah bin Mas'ud
RA, dia berkata, "Saya pernah berkunjung kepada Rasulullah SAW ketika
beliau sedang sakit parah. Saya usapkan tangan saya pada tubuh beliau seraya
berkata, 'Ya Rasulullah, apakah engkau sedang menderita sakit parah?'
Rasulullah SAW menjawab, "Ya. Saya sedang menderita sakit keras seperti
sakitnya dua orang di antara kalian." Kata Abdullah bin Mas'ud,
"Saya bertanya, 'Apakah hal itu karena engkau mendapat dua kali lipat
pahala?' Rasulullah SAW menjawab, "Ya." Setelah itu,
Rasulullah bersabda, "Tidaklah seorang muslim tertimpa rasa sakit dan
sebagainya, melainkan dengan itu Allah akan menggugurkan dosa-dosanya sebagaimana
pohon menggugurkan daun-daunnya." [3](HR.
Muslim)
B. Amalan
pada saat sakit menjelang ajal
Ada
beberapa hal yang harus diperhatikan oleh orang yang sedang sakit menjelang
ajal. Di antaranya adalah sebagai berikut:[4]
1. Orang
yang sakit wajib menerima qadha (ketentuan) Allah dan bersabar dalam menghadapi
serta berbaik sangka kepada Allah bahwa semua ini sudah menjadi kehendak Allah
dan pasti ada hikmahnya. Dalam hadits riwayat Muslim dari Jabir bin Abdillah,
Nabi Saw (tiga hari sebelum wafat) sempat bersabda :
لاَيَمُو
تَنَّ أَحَدُكُمْ إِلاَّ وَهُوَ يُحْسِنُ الظَّنَّ بِ اللهِ عَزَّوَجَلَّ
“Janganlah seseorang diantara kamu meninggal
kecuali berprasangka baik kepada Allah”(HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah)
2. Setiap
orang harus menjadikan suasana sakitnya untuk mendekatkan diri kepada Allah,
berintrospeksi dan banyak memohon ampun kepada Allah, sehingga sakitnya bisa
dijadikan sebagai sarana untuk menghapus dosa dan turunnya hidayah serta rahmat
dari Allah Swt ;
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
مَرَضِهِ وَهُوَ يُوعَكُ وَعْكًا شَدِيدًا وَقُلْتُ إِنَّكَ لَتُوعَكُ وَعْكًا
شَدِيدًا قُلْتُ إِنَّ ذَاكَ بِأَنَّ لَكَ أَجْرَيْنِ قَالَ أَجَلْ مَا مِنْ
مُسْلِمٍ يُصِيبُهُ أَذًى إِلَّا حَاتَّ اللَّهُ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَمَا تَحَاتُّ
وَرَقُ الشَّجَرِ
Dari Abdullah ra, saya
pernah menjenguk Nabi Saw ketika sakit, sepertinya beliau sedang merasakan rasa
sakit, kataku selanjutnya; “Sepertinya
anda sedang merasakan sakit yang amat berat, oleh karena itulah anda
mendapatkan pahala dua kali lipat.” Beliau menjawab : “Benar, tidaklah seorang muslim yang tertimpa musibah melainkan Allah
akan menggugurkan kesalahan-kesalahannya sebagaimana pohon menggugurkan
daunnya.” (HR. Al- Bukhari dari Abdullah bin Mas’ud ra)
3. Betapapun
parah sakit yang dideritanya, seseorang tidak boleh berangan-angan untuk mati.
Kalaupun terpaksa maka hendaknya ia berdoa dengan doa sebagaimana yang
diajarkan oleh Nabi Saw berikut ini:
اللَّهُمَّ
أَحْيِنِى مَا كَانَتِ الْحَيَاةُ خَيْرًا لِى ، وَتَوَفَّنِى إِذَا كَانَتِ الْوَفَاةُ خَيْرًا لِى
“Ya
Allah hidupkanlah aku jika kehidupan lebih baik bagiku, dan matikanlah aku jika
kematian lebih baik bagiku”(HR.Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik).
4. Jika
orang yang sedang sakit (menjelang ajal) mempunyai kewajiban yang menyangkut
hak orang lain, hendaknya menyelesaikannya secepat mungkin. Jika tidak mampu,
hendaknya berwasiat untuk penyelesaiannya. Nabi Saw bersabda :
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ
مَظْلَمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ مَالِهِ فَلْيُؤَدِّهَا إِلَيْهِ قَبْلَ
أَنْ يَأْتِىَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ لاَ يُقْبَلُ فِيهِ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ وَأُعْطِىَ صَاحِبُهُ ، وَإِنْ لَمْ
يَكُنْ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَتْ عَلَيْه
“Dari
Abu Hurairah ra, Rasullah Saw bersabda: “Barangsiapa
yang terdapat padanya kezaliman terhadap saudaranya berupa kehormatan atau
hartanya, maka hendaknya ia berlaku lagi dinar atau dirham. Bila ia memiliki
amal kebaikan maka akan diambil darinya dan diberikan kepada yang berhak, namun
bila tak memiliki amal kebaikan, maka akan diambilkan keburukan si pemilik hak
dan dibebankan tanggung jawabnya kepadanya (HR. Al-Bukhari dan al-Baihaqi)
5. Sebelum
wafat, hendaknya ia berwasiat kepada keluarganya. Allah swt berfirman:
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا
حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ
وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِين
“
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang
di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, ia berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf (adil
dan baik), (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa.
(Q.S.Al-Baqarah, 180)
6. Menjelang
kematian, orang-orang yang ada di sekitarnya harus melakukan hal-hal sebagai
berikut;
a. Men-talqin (menuntunnya) dengan kalimat – Laa Ilaha IIIa Allah- “Artinya : Tiada Tuhan yang berhak disembah selain Allah”.
Dari Abu Sa’d al-Khudri ra, ia berkata:
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقِّنُوا مَوْتَاكُمْ لَا
إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
Nabi Saw bersabda : “Ajarilah orang yang hendak mati dengan ucapan La ilaha illallah” (HR.Muslim)
b. Mendoakan
dan mengucapakan perkataan yang baik.
عَنْ
أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا حَضَرْتُمْ الْمَرِيضَ أَوْ
الْمَيِّتَ فَقُولُوا خَيْرًا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ يُؤَمِّنُونَ عَلَى مَا
تَقُولُونَ
Dari Ummu Salamah, Nabi Saw bersabda: “Apabila kamu menjenguk orang sakit atau
orang yang meninggal, maka ucapkanlah (do’a) yang baik, karena malaikat
mengaminkan ucapan kalian (HR.Muslim)
7. Membacakan
surat Yaasin di sisi orang yang hendak meninggal dan menghadapkannya ke kiblat[5],
tetapi cara ini diperselisihkan ulama;
عَنْ مَعْقِلِ بْنِ
يَسَارٍ قَالَ قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اقْرَءُوا يس عَلَى مَوْتَاكُمْ
Dari
Ma’qil bin Yasar, ia berkata ; Nabi Saw bersabda: “Bacakanlah Surat Yaasin kepada orang yang akan meninggal di antara
kalian. (Abu Dawud dan lain-lain).[6]
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam
pandangan Islam sakit merupakan cobaan yang
diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya untuk menguji keimanannya.
Dalam kondisi sakit umat Islam dijanjikan oleh Allah SWT berupa penghapusan
dosa apabila ia bersabar dan berikhtiar untuk menyembuhkan penyakitnya. Karena Allah SWT tidak
akan menurunkan suatu penyakit apabila tidak menurunkan juga obatnya.
Hal-hal yang harus diperhatikan
seseorang pada saat sakit menjelang ajal, diantaranya adalah bagi orang yang
sedang sakit wajib menerima ketentuan Allah dan bersabar dalam menghadapinya
serta berbaik sangka kepada Allah, menjadikan sakitnya untuk mendekatkan diri
kepada Allah, tidak boleh berangan-angan untuk mati, menyelesaikan kewajiban yang
menyangkut hak orang lain, berwasiat kepada keluarganya. Adapun hal-hal yang
harus diperhatikan bagi orang yang ada di sekitarnya, yaitu melakukan talqin,
mendoakan dan mengucapkan perkataan yang baik, serta membacakan surat Yaasin
dan menghadapkannya ke kiblat.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin. Mukhtashar Shahih Muslim, (Dokumen digital:
Kampung Sunnah).
Al-Albani,
Muhammad Nashiruddin. Sahih Sunan Ibnu Majjah, (Dokumen digital: Kampung
Sunnah, 2008).
As-Sidokare,
Abu Ahmad. Kitab Sahih Bukhari, (Dokumen digital: Pustaka Pribadi,
2009).
Zuhdi,
Ahmad Dh. Merawat Jenazah: Sesuai Syari’at Islam. Surabaya: IAIN Sunan
Ampel Press, 2012.
[1] Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Sahih Sunan Ibnu Majjah, (Dokumen digital: Kampung Sunnah,
2008), No.3272-4103
[3] Muhammad Nashiruddin
Al-Albani, Mukhtashar Shahih Muslim, (Dokumen digital: Kampung Sunnah), No.1469.
[4] Ahmad Zuhdi Dh. Merawat
Jenazah: Sesuai Syari’at Islam. Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2012. Hlm.
1-5
[5] Dalam
hadith riwayat Ahmad dari Ummi Salma diterangkan bahwa Fatimah ketika hendak
meninggal dunia, beliau tidur berbaring dengan menghadapakan wajahnya ke
kiblat. Hadith ini dinilai lemah oleh Syaikh Syu’aib al-Arnaout karena lemahnya
perawi bernama Abdullah bin Ali bin Abi Rafi. (Musnad Ahmad bin Hanbal,VI/461).
Ibn Hazm mengatakan bahwa menghadapkan wajahnya ke kiblat itu baik-baik saja,
tetapi jika tidak dihadapkan ke kiblat itu juga tidak apa-apa. Ibn Hazm,
al-Muhalla, V/174. Baca juga Muhammad Shaleh al-Munjid dalam Fatawa al-Islam
Sual wa Jawab, I/5789.
[6] Menurut
Syekh M Nashiruddin Al Albani, hadith tersebut da’if atau lemah (Shahih Wada’if
Sunan Abu Dawud. VII/121, karena itu tidak bisa dijadikan hujjah. Wallahu A’lam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar